Rabu, 22 Mei 2013

KEKKON SHIKI


Pada bulan oktober banyak orang jepang yang melaksanakan pernikahan (Kekkon Shiki). Memilih hari pernikahan yang terbaik adalah sesuatu yang harus diperhatikan. Jika di Indonesia ada Pon, Pahing, dan sebagainya, di Jepang disebut dengan Rokuyo yang terdiri atas 6 buah yaitu Sengachi, Tomobiki, Sempu, Betsumetsu, Taian dan Jakku. Menurut orang Jepang hari yang paling buruk adalah Betsumetsu, dan yang paling baik  adalah Taian. Upacara perkawinan di Jepang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Butsuzen Kekkon Shiki (Perkawinan Berdasarkan Agama Buddha), Kirisutokyoo Kekkon Shiki (Perkawinan Berdasarkan Agama Kristen) Dan Shinzen Kekkon Shiki (Perkawinan Berdasarkan Agama Shinto).

A.    PERNIKAHAN SHINTO
Walaupun ada beberapa cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di Jepang di samping agama Budha.

ROKUYO (六曜)
Sampai saat ini masih banyak kalender dinding Jepang yang memuat hari-hari mistik. Hari-hari mistik sampai sekarang ini masih dipercaya sebagai pedoman untuk memilih hari baik untuk melakukan upacara yang sifatnya resmi seperti resepsi pernikahan dan upacara pemakaman. Pekan yang disebut rokuyō (六曜) terdiri dari 6 hari-hari mistik: sakigachi, butsumetsu, tomobiki, sakimake, dan shakko.
Arti hari-hari mistik Jepang adalah sebagai berikut:
·         Sakigachi atau senshō (先勝)
Hari baik untuk acara penting, asalkan acara tersebut diadakan pada pagi hari dan sebaiknya tidak mengadakan acara penting sesudah tengah hari.
·         Butsumetsu (仏滅)
Hari sial untuk memulai sesuatu. Sebaiknya tidak mengadakan resepsi pernikahan atau membuka bisnis.
·         Tomobiki (友引)
Hari untuk tidak mengadakan pemakaman. Tomo () artinya teman, Biki () artinya menarik. Konon kalau mengadakan pemakaman pada hari ini, orang yang meninggal akan “mengajak” teman-temannya yang masih hidup untuk ikut pergi bersama-sama ke alam sana.
·         Dai an (大安)
Hari mujur untuk melakukan segala macam kegiatan. Hari terbaik untuk menikah atau mengadakan resepsi pernikahan.
·         Sakimake atau senbu (先負)
Hari harus berhati-hati. Pada hari ini sebaiknya menghindari keputusan yang sifatnya penting.
·         Shakkō (赤口)
Hari sial. Pada hari ini sebaiknya tidak mengadakan acara yang sifatnya penting seperti pemakaman atau pernikahan.

TATA CARA DAN ALUR
Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh pendeta Shinto (kannushi). Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah ruangan khusus bagi upacara pernikahan. Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.
Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto.  Kemudian pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-san kudo. Selama ritual ini, mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang disediakan. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan dan kebahagiaan.
Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling berhadapan. Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.
Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.
Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat. Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai secara rohani.
Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi (secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga. Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria dan keluarganya.
Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan, merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.
Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria mengenakan kimono berwarna hitam pada upacara pernikahan.
Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang Barat.
Jika kita menerima surat undangan pernikahan dari seorang teman warga negara jepang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Menjawab Undangan Pernikahan
Setelah undangan diterima, diharuskan kita segera membalas isi undangan tersebut, dengan mengirimkan kartu pos apakah dapat hadir atau tidak.
1.      Jika Tidak Dapat Hadir
a.       Dalam kartu pos kita tulis ucapan selamat & alasan tidak bisa hadir, misalnya:
"Kekkon omedetou gozaimasu. Zannen nagara, toujitsu wa kaigaishucchou no tame, shussekisuru koto ga dekimasen. Douzo oshiawase".
(Selamat atas pernikahan anda. Sayang sekali, pada hari tersebut saya tidak bisa hadir karena ada tugas ke luar negri. Semoga berbahagia).
b.      Mengirinkan hadiah tanda ikut bergembira. Tetapi perlu diingat, ada beberapa barang yang tidak bisa diberikan karena dipercaya orang jepang dapat merusak kehidupan rumah tangganya kelak, yaitu:
§  Pisau, gunting, dan barang yang dapat memutuskan sesuatu, karena khawatir akanmemutuskan ikatan pernikahan kelak.
§  Barang pecah belah sepeti gelas kaca, keramik, dll karena khawatir akan memecah belah kerukunan berumah tangga.
2.      Jika Dapat Hadir
a.       Dalam kartu pos kita ucapan selamat & terima kasih atas undangan tersebut, misalnya:
"Kekkon omedetou gozaimasu. Yorokonde shussekisaseteitadakimasu".
(Selamat atas pernikahan anda. Dengan senang hati saya akan menghadirinya).

Pakaian Yang Digunakan
Para Undangan
Pakaian yang digunakan, untuk pria adalah black suit (setelan berwarna hitam), sedangkan untuk wanita dapat menggunakan gaun, kimono, atau pakaian daerah lainnya.

Mempersiapkan Hadiah Pernikahan Berupa Uang
Mempersiapkan uang yang disebut "Goshuugi" (congratulatory monetary gift) yang dimasukan ke dalam amplop khusus yang disebut "Shuugibukuro" (congratulatory envelope). Kira-kira uang yang diberikannya adalah 20 ribu-30 ribu yen jika teman kantor. Goshuugi tersebut diberikan kepada resepsionis pernikahan sambil mengucapkan salam persahabatan, misalnya:
Honjitsu omedetou gozaimasu... Kokorobakari no oiwaidesu”
(Selamat... ini sedikit hadiah untuk mempelai).

Sambutan (Speech) & Pembawa Acara (MC)
Jika kita diminta untuk memberikan sambutan atau sebagai pembawa acara, ada beberapa kata yang tidak boleh diucapkan yaitu: Wakareru (berpisah), owaru (berakhir), hanareru (berjauhan), kiru (memotong) karena khawatir hal tsb akan terjadi dalam rumah tangga kelak.
Contoh:
1.      Ucapan penutup acara pernikahan
(X) Hiroen o owari ni shimasu (Kita akhiri upacara ini)
(O) Hiroen o ohiraki ni shimasu (Kita tutup upacara ini).
2.      Ucapan ketika mempersilakan memotong kue
(X) Wedingu keeki o kiru ( silakan memotong kue)
(O) Wedingu keeki ni naifu o ireru (silakan memasukan pisau ke wedding cake).

Pesta Lanjutan (Nijikai)
Setelah upacara pernikahan tersebut selesai, beberapa kerabat atau sahabat dekat akan diundang ke pesta lanjutan yang disebut "Nijikai" (post reception party).

Ucapan Perpisahan
Setelah upacara/ pesta pernikahan selesai, kita berpamitan pada mempelai dengan mengucapkan salam perpisahan, misalnya:
"Oshiawaseni... Totemo tanoshii paatii deshita".
(Semoga berbahagia... pestanya sangat menyenangkan).

Beberapa Ucapan Selamat Kepada Mempelai
§  Kekkon omedetou gozaimasu. Suenagaku oshiawaseni
(Selamat atas penikahan anda. Semoga awet dan berbahagia)
§  Kekkon omedetou gozaimasu. Ofutari no mirai ga subarashiimono de arimasuyouni
(Selamat atas pernikahan anda. Semoga penuh dengan harapan indah bagi berdua)
§  Kekkon omedetou gozaimasu. Ofutari de, nakayoku, atatakai katei o kizuiteitte kudasai.
(Selamat atas pernikahan anda. Semoga berdua rukun selalu dan membentuk keluarga yang menyenangkan)



SOVENIR
Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di Jepang, perlu membawa goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.
Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau Hikidemono seperti permen, peralatan makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada para tamu untuk dibawa pulang.


BAHASA JEPANG DAN KOMUNIKASI ANTAR KEBUDAYAAN


JUDUL BUKU                      : Kekuatan Yang Membisu, Kepribadian dan Peranan Jepang
PENGARANG                       : Mochtar Lubis
PENERBIT                             : Penerbit Sinar Harapan bersama Yayasan Obor Indonesia
BAB YANG DIBAHAS       :

BAB II
“BAHASA JEPANG DAN KOMUNIKASI ANTAR KEBUDAYAAN”

Bahasa menempati kedudukan yang penting dalam unsur suatu kebudayaan. Bahasa dan pola-pola komunikasi diteliti untuk mengetahui kultur atau kebudayaan suatu bangsa. Bahasa ada untuk berkomunikasi, dan dengan adanya pasangan dalam berdialog, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisis bahasa. Bahasa jepang seringkali dipandang lebih kompleks jika dibandingkan dengan bahasa lainnya. Jika benar demikian, maka komunikasi antar budaya yang melibatkan bahasa Jepang akan menimbulkan banyak persoalan. Dalam buku ini, Mochtar Lubis menjelaskan tentang konsepsi orang Jepang atas bahasa Jepang, dan cara orang Jepang dalam menggunakan bahasa Jepang.
Menurut pengarang, salah satu ciri dari sikap orang Jepang terhadap bahasa ialah orang Jepang cenderung bersikap diam dan punya pandangan bahwa tidak banyak bicara dan bersandar kepada sarana-sarana non linguistik untuk menyampaikan yang selebihnya adalah suatu kebajikan. Bahkan orang Jepang yang cukup menguasai bahasa asing sekalipun menunjukkan adanya kecenderungan bersikap seperti ini (tidak banyak bicara) di dalam bahasa asing tersebut. Mereka beranggapan bahwa “orang lain akan memahaminya meskipun saya tidak mengucapkannya”. Dan juga bahwa “menjelaskan apa yang saya maksudkan bisa membuat orang tersebut menjadi bosan”.
Contoh dalam suatu percakapan singkat bahasa Jepang seperti misalnya:
A: kore, dou? (kalau yang ini, bagaimana?)
B: suki. (saya suka)
Percakapan diatas, merupakan percakapan yang wajar kita dengar di Jepang. Namun dalam bahasa Inggris seringkali terasa tidak lengkap apabila kita tidak menjelaskan mengapa kita menyukainya. Dari percakapan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa orang Jepang cenderung tidak mengatakan sesuatu hingga sampai membuat orang lain bosan mendengarnya (tidak suka berbicara panjang lebar).
            Menurut Kamishima Jiro, masyarakat Jepang muncul sebagai akibat dari suatu proses asimilasi dimana “yang asing diakrabkan”. Beberapa pengamat lainnya telah mencoba merumuskan homogenitas Jepang. Jauh sebelum Kamishima, seorang ahli etnologi Oka Masao mengatakan bahwa Jepang sebagai suatu negara yang ditandai oleh keragaman etnis dan kultur. Mochtar Lubis berpendapat bahwa Jepang dewasa ini telah menjadi lebih homogen dibandingkan dengan negara besar lain manapun di dunia ini.
Para ahli anthropologi mengatakan bahwa “Jepang adalah perwujudan dari masyarakat endogen, yang berarti bahwa para anggotanya memiliki banyak sekali persamaan dalam soal kehidupan sehari-hari dan kesadaran. Itulah sebabnya, dalam penjelasan lewat medium bahasa seringkali tidak diperlukan lagi, dan komunikasi non verbal yang berkembang di antara anggota-anggota keluarga yang hidup di bawah satu atap menyebar ke seluruh lapisan masyarakatnya”. Selain hal tersebut di atas, karena adanya tekanan dalam suatu masyarakat, membuat orang Jepang hampir mustahil untuk bisa hidup di luar kalangannya.
Ahli anthropologi, Ishida Eiichiro menyimpulkan bahwa “orang Jepang tidak membagi-bagi berbagai hal ke dalam kategori-kategori”. Sedangkan Yanagita Kunio menjelaskan bahwa “orang Jepang kuno percaya bahwa hidup dan mati saling terjalin, mereka memandang kehidupan dan kematian bukan sebagai dua hal yang bertentangan, namun seperti segaris cahaya serta bayangan yang menyertainya”. Masalah lain yang menjadi permasalahan dalam komunikasi masyarakat Jepang adalah, masyarakat Jepang cenderung tidak mau menyampaikan pernyataan atau penilaian atas namanya sendiri. Sebagian besar masyarakat Jepang tidak mau mengungkapkan atau menyuarakan pendapatnya sendiri, karena mereka berpikiran seperti pepatah “mulut bisa menjadi sumber bencana”. Karena hal tersebut, orang Jepang menjadi takut untuk berperan sebagai pendukung apapun karena adanya tekanan-tekanan yang mereka rasakan sebagai seorang pribadi atau individu.
Orang Jepang menghormati perasaan orang lain, dan karena hal tersebut maka mereka lebih senang menebak-nebak perasaan lawan bicaranya daripada langsung menanyainya. Bentu-bentuk komunikasi seperti haragei (seni komunikasi halus) dan me wa kuchi hodo ni mono o ii (mata berbicara sama jelasnya dengan mulut) sangat sering digunakan oleh masyarakat jepang saat berkomunikasi. Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa salah satu kualifikasi untuk menjadi “orang terkemuka” di Jepang ialah dengan kediaman (sedikit sekali berbicara).       
Kurita Isamu merumuskan bahasa Jepang sebagai sesuatu yang membuang “proses” dan langsung pada kesimpulan. Abe Yoshio pernah mengungkapkan bahwa “meskipun percakapan orang Jepang terpotong-potong tanpa jalinan logis antara kedua pihak, mereka tetap akan sampai pada suatu kesimpulan yang disenangi”. Dalam buku ini disebutkan bahwa Orang barat akan menggunakan pemikiran logis untuk meyakinkan lawan bicaranya, sedangkan orang Jepang, meskipun mereka yakin bahwa mereka benar, mereka tidak akan berusaha untuk meyakinkan orang lain.
Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa “Dialog tidak  muncul di antara orang-orang Jepang. Bahkan jika bentuk komunikasi itu merupakan dialog sekalipun, isinya tidak lebih dari monolog yang terputus-putus, dan kedua pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut tidak saling bertautan”. Di dalam buku ini, dapat kita temukan bahwa unsur utama yang berperan dalam komunikasi masyarakat Jepang yaitu kecenderungan orang Jepang untuk menghargai perasaan serta kepentingan-kepentingan pribadi lawan bicaranya. Mereka berpendapat: karena pandangan kita adalah “putih” dan pandangan orang lain adalah “hitam”, maka kami menawarkan “abu-abu”. Kemudian, bila pihak lain tetap bersikukuh pada pendapatnya “hitam”, maka orang Jepang akan merasa terpukul karena ia telah berusaha mempertimbangkan posisi pihak lain.
Mochtar Lubis juga mengungkapkan bahwa “dalam bahasa Jepang, ada kesan dimana boleh melontarkan sesuatu secara bolak-balik dengan santai antara kedua belah pihak yang berkomunikasi dan saling melibatkan respon masing-masing”. Sedangkan menurut Tsuruta Kin’nya, “bahasa Jepang memancarkan kesan seakan-akan kita mandi di dalam sebuah bak air hangat dan sepenuhnya menikmati kehangatan manusia lainnya”. Sebagai orang Jepang asli, beliau merasa bahwa beliau adalah orang lain (bukan orang Jepang) apabila menyampaikan pidato atau berbicara dalam bahasa Inggris dan seolah-olah menggunakan topeng jika berbicara dalam bahasa asing.
Miura Tsutomu berkata, “jangan sampai kita mengacaukan segi-segi normatif dengan segi-segi kreatif dari suatu bahasa. Ungkapan individu adalah hakikat bahasa, sementara norma-norma linguistik yang diturunkan dari orang tua kepada anak hanyalah bersifat mekanis, bukan kreatif”. Penelitian yang dilakukan oleh Tsunoda Tadanobu dari Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Tokyo, menunjukkan bahwa sewaktu kita mendengarkan bunyi serangga di rerumputan, orang Jepang akan menafsirkannya sebagai bahasa pada belahan otak kanannya, sementara orang asing akan menganggapnya sebagai bunyi. Orang Jepang tidak menjelaskan apakah yang mereka maksudkan itu “ya” atau “tidak”, dan apakah mereka “setuju” atau “tidak”. Hal ini muncul dari kebudayaan serta mentalitas masyarakat Jepang dan hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat komunikasi antar kebudayaan.  

日本酒 (SAKE JEPANG)

Sake merupakan minuman tradisional Jepang yang terbuat dari fermentasi beras sehingga sering juga disebut sebagai anggur beras. Sake merupakan minuman beralkol yang memiliki aroma yang mirip dengan tape beras. Dalam bahasa jepang, sake disebut dengan Nihonshu (日本酒 “Sake Jepang”).
Sake diduga berasal dari zaman Nara (710-794 M). Selama restorasi Meiji, dalam undang-undang tertulis bahwa siapapun yang memiliki uang dan pengetahuan tentang sake diijinkan untuk membangun dan mengoperasikan pabrik sake sendiri. Karena hal tersebut, sekitar 30.000 pabrik sake bermunculan di seluruh negeri dalam waktu satu tahun. Namun, perlahan-lahan jumlah pabrik sake mulai berkurang hingga menjadi 8.000 karena pemerintah menarik pajak yang tinggi dari para pemilik pabrik sake. Di jepang sendiri, tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari sake Jepang (日本酒の日).

Toji (杜氏) adalah sebutan bagi seorang pembuat sake. Toji merupakan pekerjaan yang sangat dihormati dalam masyarakat Jepang, seperti halnya musisi atau pelukis. Pekerjaan sebagai Toji biasanya diwariskan secara turun-temurun dari ayah ke anak. Namun belakangan, seorang Toji tidak lagi hanya berasal dari garis keturunan, tapi pekerja pabrik bir veteran maupun seorang yang telah dilatih pun dapat menjadi seorang Toji.

Sake dapat disajikan dalam berbagai macam cangkir, seperti sakazuki (piring datar seperti cangkir), choko (cangkir kecil berbentuk silinder), dan masu (kotak kayu seperti cangkir). Sake biasanya diminum dari cangkir kecil yang disebut choko, dan dituangkan dari termos keramik yang disebut tokkuri. Sakazuki sering digunakan pada pesta pernikahan dan acara-acara ceremonial lainnya. Sedangkan masu merupakan cangkir tradisional berbentuk kotak yang terbuat dari kayu pohon hinoki atau sugi, yang pada awalnya digunakan untuk mengukur beras.

Sake sering dikonsumsi sebagai bagian dari ritual pemurnian Shinto. Sake yang disajikan untuk dipersembahkan kepada dewa disebut Omiki atau Miki (お神酒, 神酒). Persembahan ini bertujuan untuk memohon hasil panen yang berlimpah pada tahun berikutnya. Sake juga digunakan dalam upacara kagami biraki dimana sake yang disimpan di dalam tong kayu dibuka dengan cara menghancurkan tutupnya menggunakan sebuah palu.

Selain itu, sake juga selalu disajikan saat upacara pernikahan. Di pernikahan tradisional dikenal ritual minum sake yang dinamai San-san kudo. Sebelum kedua mempelai mengucap janji setia dihadapan pendeta Shinto, mereka diharuskan menghirup sake sembilan kali dari tiga cangkir secara bergiliran. Setelah itu, semua keluarga dari kedua mempelai bergantian minum sake sebagai tanda persatuan atau ikatan kekerabatan baru.

Di setiap daerah di seluruh Jepang, sake dibuat di tempat yang memiliki air dan beras yang enak. Kansai, Nada di Kobe, dan Fushimi di Kyoto merupakan daerah penghasilkan sake yang terkenal. Sake merupakan minuman keras yang mengandung alkohol dan dapat menyebabkan mabuk. Jika dikonsumsi secara berlebihan, sake dapat menimbulkan efek samping berupa gangguan fungsi berfikir, merasakan dan berprilaku serta dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Penelitian menyebutkan bahwa meminum sake dapat memberikan manfaat bagi kesehatan. Salah satu penelitian mengatakan bahwa sake dapat mencegah kanker karena mengandung asam amino yang berfungsi sebagai anti-kanker. Selain itu, sake dapat melancarkan aliran darah dan membantu meningkatkan kadar kolesterol baik dalam tubuh. Senyawa peptida yang terkandung dalam sake diduga efektif untuk mencegah kepikunan. Namun hal ini hanya akan terjadi apabila sake dikonsumsi dalam jumlah yang wajar, kira-kira 3-6 gelas dalam seminggu.

RESENSI NOVEL OUT


Judul                           : BEBAS
Judul Asli                    : OUT
Pengarang                   : Natsuo Kirino
Penerjemah                  : Lulu Wijaya
Jumlah Halaman          : 576 halaman
Penerbit                       : PT. Gramedia Pustaka Utama
Harga                          : Rp 55.000,-
Tahun Terbit                : 2007

Natsuo Kirino lahir tahun 1951. Dia dengan cepat membangun reputasi di negaranya sebagai penulis kisah misteri dengan bakat yang langka, yang karya-karyanya berbeda dari genre kisah kriminal yang biasanya. Ini terbukti saat dia memenangkan tidak hanya penghargaan grand prix untuk fiksi kriminal di Jepang (untuk novel out pada tahun 1998) tapi juga salah satu penghargaan sastra tertinggi di negeri itu (pengghargaan Naoki untuk novel soft cheeks) pada tahun 1999. Beberapa bukunya juga sudah diangkat menjadi film layar lebar. Out adalah novel pertama Natsuo Kirino yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan pernah dinominasikan untuk penghargaan Edgar.

SINOPSIS
Di daerah pinggiran Tokyo, empat wanita bekerja shift malam di pabrik makanan kotak. Beban hidup yang berat dan hutang menumpuk membuat Yayoi, salah satu dari mereka tak tahan lagi. Dia membunuh suaminya yang penjudi dan suka main perempuan, kemudian meminta bantuan pada Masako, teman sekerjanya yang paling karib untuk membereskan mayat suaminya. Masako dengan dua teman lainnya Yoshie dan Kuniko bersedia membantu Yayoi untuk menyingkirkan mayat tersebut dengan cara memotong-motong tubuhnya. Ketika bagian-bagian tubuh mayat tersebut ditemukan, polisi mulai melacak pembunuhnya. Tapi bukan hanya polisi yang mengejar mereka, melainkan juga seorang lintah darat yang berkaitan dengan yakuza yang mengetahui rahasia mereka, serta seorang pemilik kelab malam yang kejam, yang dituduh sebagai pembunuh oleh polisi sehingga kehilangan segala harta miliknya, dan berniat membalas dendam pada mereka berempat.

Out – Bebas, merupakan novel fiksi terjemahan bertemakan pembunuhan yang dilakukan oleh empat orang wanita dengan cara memotong-motong mayat korbannya. Kelebihan yang ada di dalam novel ini yaitu ada pada cara si pengarang dalam menyampaikan alur cerita dengan menempatkan empat orang wanita yakni Yayoi, Yoshie, Kuniko dan Masako secara bergiliran menjadi pokok cerita di setiap babnya. Jadi di tiap babnya, keempat wanita ini akan saling silih berganti menjadi tokoh utamanya. Dengan begitu, kita akan dapat memahami masalah apa yang sedang mereka hadapi dan bagaimana mereka kemudian akan menyelesaikan masalahnya.
Alur yang digunakan dalam novel ini adalah alur maju dan mundur, dimana kita akan mengetahui kehidupan masing-masing tokoh di masa lalu baru kemudian cerita berlanjut dengan menceritakan kehidupan mereka di masa sekarang yang masih dibayang-bayangi oleh masa lalu mereka.     
Poin menarik lainnya yang dapat kita temukan dalam novel ini yaitu, dengan membaca novel ini kita dapat mengetahui sisi gelap negara Jepang. Si pengarang menggambarkan bagaimana keadaan Jepang pada masa itu dan jika kita membacanya secara lebih mendalam, kita akan menemukan bahwa ada banyak masalah sosial yang memberikan tekanan pada warga Jepang. Salah satunya yakni beban hidup yang berat di Jepang mengakibatkan empat orang wanita dalam novel ini harus bekerja shift malam di sebuah pabrik untuk mendapatkan upah kerja yang lebih banyak. Dengan tekanan hidup yang begitu berat, keempat wanita tersebut jadi harus berupaya keras mencari uang untuk kelangsungan hidup mereka dengan terus bekerja meskipun usia mereka sudah tidak muda lagi. Dan meskipun mereka telah lelah bekerja, mereka tidak punya cukup waktu untuk beristirahat karena mereka masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga mereka masing-masing. Semua yang mereka lakukan seolah belum cukup berat, masalah terus saja datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpojok, sehingga mereka memutuskan untuk memilih jalan yang menjauhi cahaya demi kelangsungan hidup mereka. Cerita dalam novel ini jadi semakin menarik setelah keempat wanita tersebut mulai putus asa dengan hidup mereka dan bersedia melakukan apapun untuk terus hidup, tanpa menyadari bahaya yang akan mereka hadapi nantinya akibat ulah mereka sendiri.        
Secara keseluruhan, novel ini merupakan novel yang sangat menarik untuk dibaca. Selain alur yang diceritakan secara rapi dan berurutan, si pengarang juga mampu membuat rasa penasaran pembaca meningkat di tiap babnya. Si pengarang mampu mendeskripsikan kesulitan hidup yang dialami masing-masing tokohnya dengan baik sehingga mampu membuat pembaca merasa iba dan bersimpati kepada para tokoh. Konflik yang terjadi pun diceritakan sedemikian rupa sehingga mampu membuat para pembaca merasakan ketegangan yang terjadi di dalam novel ini.
Sayangnya, karena si pengarang harus menceritakan kehidupan tokoh yang berbeda di setiap babnya, alur cerita jadi berjalan dengan lambat dan panjang. Pengarang mengulas kembali kejadian yang telah terjadi pada bab sebelumnya sehingga narasi cerita di tiap babnya jadi sangat panjang. Narasi yang terlalu panjang akan mengakibatkan pembaca cepat merasa bosan. Menurut saya ini satu-satunya kelemahan yang terdapat di dalam novel ini.
Namun terlepas dari kekurangan yang ada, novel ini sangat bagus dan jadi salah satu pilihan novel misteri terbaik untuk dibaca. Karena dengan membaca novel ini, kita dapat mengetahui sisi gelap yang terdapat dalam kehidupan masayarakat Jepang. Selain itu, kita juga jadi bisa memahami betapa beratnya beban hidup yang harus dihadapi oleh warga Jepang khususnya wanita demi mempertahankan kehidupan dan rumah tangganya.