JUDUL
BUKU : Kekuatan
Yang Membisu, Kepribadian dan Peranan Jepang
PENGARANG : Mochtar Lubis
PENERBIT : Penerbit Sinar
Harapan bersama Yayasan Obor Indonesia
BAB
YANG DIBAHAS :
BAB II
“BAHASA JEPANG DAN KOMUNIKASI ANTAR KEBUDAYAAN”
Bahasa menempati
kedudukan yang penting dalam unsur suatu kebudayaan. Bahasa dan pola-pola
komunikasi diteliti untuk mengetahui kultur atau kebudayaan suatu bangsa. Bahasa
ada untuk berkomunikasi, dan dengan adanya pasangan dalam berdialog, maka akan
lebih mudah bagi kita untuk menganalisis bahasa. Bahasa jepang seringkali
dipandang lebih kompleks jika dibandingkan dengan bahasa lainnya. Jika benar
demikian, maka komunikasi antar budaya yang melibatkan bahasa Jepang akan
menimbulkan banyak persoalan. Dalam buku ini, Mochtar Lubis menjelaskan tentang
konsepsi orang Jepang atas bahasa Jepang, dan cara orang Jepang dalam
menggunakan bahasa Jepang.
Menurut pengarang,
salah satu ciri dari sikap orang Jepang terhadap bahasa ialah orang Jepang
cenderung bersikap diam dan punya pandangan bahwa tidak banyak bicara dan bersandar
kepada sarana-sarana non linguistik untuk menyampaikan yang selebihnya adalah
suatu kebajikan. Bahkan orang Jepang yang cukup menguasai bahasa asing
sekalipun menunjukkan adanya kecenderungan bersikap seperti ini (tidak banyak
bicara) di dalam bahasa asing tersebut. Mereka beranggapan bahwa “orang lain
akan memahaminya meskipun saya tidak mengucapkannya”. Dan juga bahwa
“menjelaskan apa yang saya maksudkan bisa membuat orang tersebut menjadi bosan”.
Contoh dalam suatu
percakapan singkat bahasa Jepang seperti misalnya:
A: kore, dou? (kalau yang ini,
bagaimana?)
B: suki. (saya suka)
Percakapan diatas,
merupakan percakapan yang wajar kita dengar di Jepang. Namun dalam bahasa
Inggris seringkali terasa tidak lengkap apabila kita tidak menjelaskan mengapa
kita menyukainya. Dari percakapan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa orang Jepang cenderung tidak mengatakan sesuatu hingga sampai membuat
orang lain bosan mendengarnya (tidak suka berbicara panjang lebar).
Menurut
Kamishima Jiro, masyarakat Jepang muncul sebagai akibat dari suatu proses
asimilasi dimana “yang asing diakrabkan”. Beberapa pengamat lainnya telah
mencoba merumuskan homogenitas Jepang. Jauh sebelum Kamishima, seorang ahli
etnologi Oka Masao mengatakan bahwa Jepang sebagai suatu negara yang ditandai
oleh keragaman etnis dan kultur. Mochtar Lubis berpendapat bahwa Jepang dewasa
ini telah menjadi lebih homogen dibandingkan dengan negara besar lain manapun
di dunia ini.
Para ahli
anthropologi mengatakan bahwa “Jepang adalah perwujudan dari masyarakat
endogen, yang berarti bahwa para anggotanya memiliki banyak sekali persamaan
dalam soal kehidupan sehari-hari dan kesadaran. Itulah sebabnya, dalam
penjelasan lewat medium bahasa seringkali tidak diperlukan lagi, dan komunikasi
non verbal yang berkembang di antara anggota-anggota keluarga yang hidup di
bawah satu atap menyebar ke seluruh lapisan masyarakatnya”. Selain hal tersebut
di atas, karena adanya tekanan dalam suatu masyarakat, membuat orang Jepang
hampir mustahil untuk bisa hidup di luar kalangannya.
Ahli anthropologi,
Ishida Eiichiro menyimpulkan bahwa “orang Jepang tidak membagi-bagi berbagai
hal ke dalam kategori-kategori”. Sedangkan Yanagita Kunio menjelaskan bahwa
“orang Jepang kuno percaya bahwa hidup dan mati saling terjalin, mereka
memandang kehidupan dan kematian bukan sebagai dua hal yang bertentangan, namun
seperti segaris cahaya serta bayangan yang menyertainya”. Masalah lain yang
menjadi permasalahan dalam komunikasi masyarakat Jepang adalah, masyarakat
Jepang cenderung tidak mau menyampaikan pernyataan atau penilaian atas namanya
sendiri. Sebagian besar masyarakat Jepang tidak mau mengungkapkan atau
menyuarakan pendapatnya sendiri, karena mereka berpikiran seperti pepatah
“mulut bisa menjadi sumber bencana”. Karena hal tersebut, orang Jepang menjadi
takut untuk berperan sebagai pendukung apapun karena adanya tekanan-tekanan
yang mereka rasakan sebagai seorang pribadi atau individu.
Orang Jepang
menghormati perasaan orang lain, dan karena hal tersebut maka mereka lebih senang
menebak-nebak perasaan lawan bicaranya daripada langsung menanyainya.
Bentu-bentuk komunikasi seperti haragei
(seni komunikasi halus) dan me wa kuchi
hodo ni mono o ii (mata berbicara sama jelasnya dengan mulut) sangat sering
digunakan oleh masyarakat jepang saat berkomunikasi. Mochtar Lubis juga
berpendapat bahwa salah satu kualifikasi untuk menjadi “orang terkemuka” di
Jepang ialah dengan kediaman (sedikit
sekali berbicara).
Kurita Isamu merumuskan
bahasa Jepang sebagai sesuatu yang membuang “proses” dan langsung pada
kesimpulan. Abe Yoshio pernah mengungkapkan bahwa “meskipun percakapan orang
Jepang terpotong-potong tanpa jalinan logis antara kedua pihak, mereka tetap
akan sampai pada suatu kesimpulan yang disenangi”. Dalam buku ini disebutkan bahwa
Orang barat akan menggunakan pemikiran logis untuk meyakinkan lawan bicaranya,
sedangkan orang Jepang, meskipun mereka yakin bahwa mereka benar, mereka tidak
akan berusaha untuk meyakinkan orang lain.
Mochtar Lubis juga
berpendapat bahwa “Dialog tidak muncul
di antara orang-orang Jepang. Bahkan jika bentuk komunikasi itu merupakan
dialog sekalipun, isinya tidak lebih dari monolog yang terputus-putus, dan
kedua pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut tidak saling bertautan”. Di
dalam buku ini, dapat kita temukan bahwa unsur utama yang berperan dalam
komunikasi masyarakat Jepang yaitu kecenderungan orang Jepang untuk menghargai
perasaan serta kepentingan-kepentingan pribadi lawan bicaranya. Mereka
berpendapat: karena pandangan kita adalah “putih” dan pandangan orang lain
adalah “hitam”, maka kami menawarkan “abu-abu”. Kemudian, bila pihak lain tetap
bersikukuh pada pendapatnya “hitam”, maka orang Jepang akan merasa terpukul
karena ia telah berusaha mempertimbangkan posisi pihak lain.
Mochtar Lubis juga
mengungkapkan bahwa “dalam bahasa Jepang, ada kesan dimana boleh melontarkan
sesuatu secara bolak-balik dengan santai antara kedua belah pihak yang
berkomunikasi dan saling melibatkan respon masing-masing”. Sedangkan menurut
Tsuruta Kin’nya, “bahasa Jepang memancarkan kesan seakan-akan kita mandi di
dalam sebuah bak air hangat dan sepenuhnya menikmati kehangatan manusia lainnya”.
Sebagai orang Jepang asli, beliau merasa bahwa beliau adalah orang lain (bukan
orang Jepang) apabila menyampaikan pidato atau berbicara dalam bahasa Inggris
dan seolah-olah menggunakan topeng jika berbicara dalam bahasa asing.
Miura Tsutomu
berkata, “jangan sampai kita mengacaukan segi-segi normatif dengan segi-segi
kreatif dari suatu bahasa. Ungkapan individu adalah hakikat bahasa, sementara
norma-norma linguistik yang diturunkan dari orang tua kepada anak hanyalah
bersifat mekanis, bukan kreatif”. Penelitian yang dilakukan oleh Tsunoda
Tadanobu dari Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Tokyo, menunjukkan bahwa sewaktu
kita mendengarkan bunyi serangga di rerumputan, orang Jepang akan
menafsirkannya sebagai bahasa pada belahan otak kanannya, sementara orang asing
akan menganggapnya sebagai bunyi. Orang Jepang tidak menjelaskan apakah yang
mereka maksudkan itu “ya” atau “tidak”, dan apakah mereka “setuju” atau
“tidak”. Hal ini muncul dari kebudayaan serta mentalitas masyarakat Jepang dan
hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat komunikasi antar
kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar