Rabu, 22 Mei 2013

BAHASA JEPANG DAN KOMUNIKASI ANTAR KEBUDAYAAN


JUDUL BUKU                      : Kekuatan Yang Membisu, Kepribadian dan Peranan Jepang
PENGARANG                       : Mochtar Lubis
PENERBIT                             : Penerbit Sinar Harapan bersama Yayasan Obor Indonesia
BAB YANG DIBAHAS       :

BAB II
“BAHASA JEPANG DAN KOMUNIKASI ANTAR KEBUDAYAAN”

Bahasa menempati kedudukan yang penting dalam unsur suatu kebudayaan. Bahasa dan pola-pola komunikasi diteliti untuk mengetahui kultur atau kebudayaan suatu bangsa. Bahasa ada untuk berkomunikasi, dan dengan adanya pasangan dalam berdialog, maka akan lebih mudah bagi kita untuk menganalisis bahasa. Bahasa jepang seringkali dipandang lebih kompleks jika dibandingkan dengan bahasa lainnya. Jika benar demikian, maka komunikasi antar budaya yang melibatkan bahasa Jepang akan menimbulkan banyak persoalan. Dalam buku ini, Mochtar Lubis menjelaskan tentang konsepsi orang Jepang atas bahasa Jepang, dan cara orang Jepang dalam menggunakan bahasa Jepang.
Menurut pengarang, salah satu ciri dari sikap orang Jepang terhadap bahasa ialah orang Jepang cenderung bersikap diam dan punya pandangan bahwa tidak banyak bicara dan bersandar kepada sarana-sarana non linguistik untuk menyampaikan yang selebihnya adalah suatu kebajikan. Bahkan orang Jepang yang cukup menguasai bahasa asing sekalipun menunjukkan adanya kecenderungan bersikap seperti ini (tidak banyak bicara) di dalam bahasa asing tersebut. Mereka beranggapan bahwa “orang lain akan memahaminya meskipun saya tidak mengucapkannya”. Dan juga bahwa “menjelaskan apa yang saya maksudkan bisa membuat orang tersebut menjadi bosan”.
Contoh dalam suatu percakapan singkat bahasa Jepang seperti misalnya:
A: kore, dou? (kalau yang ini, bagaimana?)
B: suki. (saya suka)
Percakapan diatas, merupakan percakapan yang wajar kita dengar di Jepang. Namun dalam bahasa Inggris seringkali terasa tidak lengkap apabila kita tidak menjelaskan mengapa kita menyukainya. Dari percakapan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa orang Jepang cenderung tidak mengatakan sesuatu hingga sampai membuat orang lain bosan mendengarnya (tidak suka berbicara panjang lebar).
            Menurut Kamishima Jiro, masyarakat Jepang muncul sebagai akibat dari suatu proses asimilasi dimana “yang asing diakrabkan”. Beberapa pengamat lainnya telah mencoba merumuskan homogenitas Jepang. Jauh sebelum Kamishima, seorang ahli etnologi Oka Masao mengatakan bahwa Jepang sebagai suatu negara yang ditandai oleh keragaman etnis dan kultur. Mochtar Lubis berpendapat bahwa Jepang dewasa ini telah menjadi lebih homogen dibandingkan dengan negara besar lain manapun di dunia ini.
Para ahli anthropologi mengatakan bahwa “Jepang adalah perwujudan dari masyarakat endogen, yang berarti bahwa para anggotanya memiliki banyak sekali persamaan dalam soal kehidupan sehari-hari dan kesadaran. Itulah sebabnya, dalam penjelasan lewat medium bahasa seringkali tidak diperlukan lagi, dan komunikasi non verbal yang berkembang di antara anggota-anggota keluarga yang hidup di bawah satu atap menyebar ke seluruh lapisan masyarakatnya”. Selain hal tersebut di atas, karena adanya tekanan dalam suatu masyarakat, membuat orang Jepang hampir mustahil untuk bisa hidup di luar kalangannya.
Ahli anthropologi, Ishida Eiichiro menyimpulkan bahwa “orang Jepang tidak membagi-bagi berbagai hal ke dalam kategori-kategori”. Sedangkan Yanagita Kunio menjelaskan bahwa “orang Jepang kuno percaya bahwa hidup dan mati saling terjalin, mereka memandang kehidupan dan kematian bukan sebagai dua hal yang bertentangan, namun seperti segaris cahaya serta bayangan yang menyertainya”. Masalah lain yang menjadi permasalahan dalam komunikasi masyarakat Jepang adalah, masyarakat Jepang cenderung tidak mau menyampaikan pernyataan atau penilaian atas namanya sendiri. Sebagian besar masyarakat Jepang tidak mau mengungkapkan atau menyuarakan pendapatnya sendiri, karena mereka berpikiran seperti pepatah “mulut bisa menjadi sumber bencana”. Karena hal tersebut, orang Jepang menjadi takut untuk berperan sebagai pendukung apapun karena adanya tekanan-tekanan yang mereka rasakan sebagai seorang pribadi atau individu.
Orang Jepang menghormati perasaan orang lain, dan karena hal tersebut maka mereka lebih senang menebak-nebak perasaan lawan bicaranya daripada langsung menanyainya. Bentu-bentuk komunikasi seperti haragei (seni komunikasi halus) dan me wa kuchi hodo ni mono o ii (mata berbicara sama jelasnya dengan mulut) sangat sering digunakan oleh masyarakat jepang saat berkomunikasi. Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa salah satu kualifikasi untuk menjadi “orang terkemuka” di Jepang ialah dengan kediaman (sedikit sekali berbicara).       
Kurita Isamu merumuskan bahasa Jepang sebagai sesuatu yang membuang “proses” dan langsung pada kesimpulan. Abe Yoshio pernah mengungkapkan bahwa “meskipun percakapan orang Jepang terpotong-potong tanpa jalinan logis antara kedua pihak, mereka tetap akan sampai pada suatu kesimpulan yang disenangi”. Dalam buku ini disebutkan bahwa Orang barat akan menggunakan pemikiran logis untuk meyakinkan lawan bicaranya, sedangkan orang Jepang, meskipun mereka yakin bahwa mereka benar, mereka tidak akan berusaha untuk meyakinkan orang lain.
Mochtar Lubis juga berpendapat bahwa “Dialog tidak  muncul di antara orang-orang Jepang. Bahkan jika bentuk komunikasi itu merupakan dialog sekalipun, isinya tidak lebih dari monolog yang terputus-putus, dan kedua pihak yang terlibat dalam pembicaraan tersebut tidak saling bertautan”. Di dalam buku ini, dapat kita temukan bahwa unsur utama yang berperan dalam komunikasi masyarakat Jepang yaitu kecenderungan orang Jepang untuk menghargai perasaan serta kepentingan-kepentingan pribadi lawan bicaranya. Mereka berpendapat: karena pandangan kita adalah “putih” dan pandangan orang lain adalah “hitam”, maka kami menawarkan “abu-abu”. Kemudian, bila pihak lain tetap bersikukuh pada pendapatnya “hitam”, maka orang Jepang akan merasa terpukul karena ia telah berusaha mempertimbangkan posisi pihak lain.
Mochtar Lubis juga mengungkapkan bahwa “dalam bahasa Jepang, ada kesan dimana boleh melontarkan sesuatu secara bolak-balik dengan santai antara kedua belah pihak yang berkomunikasi dan saling melibatkan respon masing-masing”. Sedangkan menurut Tsuruta Kin’nya, “bahasa Jepang memancarkan kesan seakan-akan kita mandi di dalam sebuah bak air hangat dan sepenuhnya menikmati kehangatan manusia lainnya”. Sebagai orang Jepang asli, beliau merasa bahwa beliau adalah orang lain (bukan orang Jepang) apabila menyampaikan pidato atau berbicara dalam bahasa Inggris dan seolah-olah menggunakan topeng jika berbicara dalam bahasa asing.
Miura Tsutomu berkata, “jangan sampai kita mengacaukan segi-segi normatif dengan segi-segi kreatif dari suatu bahasa. Ungkapan individu adalah hakikat bahasa, sementara norma-norma linguistik yang diturunkan dari orang tua kepada anak hanyalah bersifat mekanis, bukan kreatif”. Penelitian yang dilakukan oleh Tsunoda Tadanobu dari Sekolah Tinggi Kedokteran Gigi Tokyo, menunjukkan bahwa sewaktu kita mendengarkan bunyi serangga di rerumputan, orang Jepang akan menafsirkannya sebagai bahasa pada belahan otak kanannya, sementara orang asing akan menganggapnya sebagai bunyi. Orang Jepang tidak menjelaskan apakah yang mereka maksudkan itu “ya” atau “tidak”, dan apakah mereka “setuju” atau “tidak”. Hal ini muncul dari kebudayaan serta mentalitas masyarakat Jepang dan hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat komunikasi antar kebudayaan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar