Kamis, 26 Desember 2013

PUISI ZAMAN SHOWA (SEJAK 1927)


 
Sulit untuk menentukan dimana garis batas antara puisi jaman Taisho dan puisi awal Showa. Koleksi puisi jaman Taisho terkadang memasukkan Miyazawa kenji, namum terkadang meninggalkannya untuk jilid Showa dari seri yang sama. Nyatanya, tidak ada aturan yang tegas, khususnya ketika seorang penyair yang aktif berkarya pada periode Showa dan Taisho. Saya memilih untuk membuat keputusan yang agak sewenang wenang, dengan memasukkan penyair jaman Showa yang berkarir ketika perang Pasifik, yang merupakan pengalaman paling traumatik bagi Jepang pada abad ke 20.
Banyak dari penyair ini, termasuk Takamura Kotaro, mulai menerbitkan karyanya selama jaman Taisho, namun karya mereka yang paling penting disusun pada tahun 1930an. Puisi ini sering secara tidak langsung mengungkapkan latar belakang politik pada jaman tersebut. Ini adalah hal yang normal, sebagai contoh, orang Jepang yang berkunjung ke Korea, kemudian bagian dari kekaisaran Jepang, dan akhir 1930an mengunjungi Peking, kebangkitan penduduk tentara Jepang, juga menjadi umum/biasa. Penyair, lebih dari penyair prosa, menjabat selama masa perang sebagai penulis sejarah terhadap prestasi militer, menyanyi senjata, dan seorang dengan cara penyair dari zaman dahulu. Tidak semua penyair bergabung dalam meluaskan/melebarkan kegiatan berpuisi selama masa perang, namun ada sedikit hambatan. Sedikit dari puisi perang tersebut yang bernilai abadi, dan mereka telah didiskusikan tidak dalam jangka waktu kerja dari penyair individu namun sebagai bagian dari survei umum sastra Jepang selama perang.
Kekalahan menyebabkan beberapa penyair mengekspresikan rasa malu mereka di muka umum terhadap puisi yang telah mereka tulis, namun yang lainnya memilih untuk tidak menyinggung pujian mereka untuk saat ini. Masa awal setelah perang masih didominasi oleh penyair penyair 1930an ini, namun generasi baru dengan kemampuan yang tak biasa muncul kemudian.

TAKAMURA KOTARO (1883-1956)

Takamura selalu lebih suka memikirkan dirinya sebagai pemahat patung daripada seorang penyair, ia bahkan menolak jabatan dari akademi Jepang karena undangan yang  ditujukan kepadanya sebagai seorang penyair. Dia menganggap puisinya tidak lebih dari jalan keluar bagi pikirannya yang tidak diikutsertakan dalam pahatannya. Namun, Takamura di atas semuanya adalah seorang penyair; pahatannya (baik dalam cara Rodin, yang dia pelajari dari seorang ahli di Paris, atau lebih ke cara tradisional Jepang dalam mengukir serangga, burung dan buah) relatif sedikit dan tidak terlalu mengesankan. Puisinya –khususnya yang mendeskripsikan rasa cintanya untuk sang istri- sangat populer, karena emosi mereka yang mengalir dan karena (tidak seperti pekerjaan tak jelas dari simbolis) ekspresinya kuat dan jelas.
Takamura lahir di Tokyo, putra dari pemahat tradisional terkenal. Pada usia 14 (1897) dia masuk sekolah seni Tokyo, kemudian lulus pada tahun 1902. Sementara itu, dia mulai menerbitkan tanka dan haiku dengan nama pena yang beragam. Ketertarikannya pada Rodin timbul pada 1904 oleh fotografer Le Penseur, dan tahun berikutnya dia membaca biografi Rodin yang sangat membuatnya terkesan, kemudian dia kembali ke sekolah seni Tokyo untuk mempelajari seni barat. Pada tahun 1906 ia mengadakan perjalanan ke New York, dan tinggal selama setahun, belajar seni pahat pada Gutzon Borglum. Selama di New York dia menulis puisi modern pertamanya dan menerbitkannya di Myojo. Dia meninggalkan New York tahun 1907 untuk pergi ke London, dimana ia melanjutkan pelajaran seninya dan berteman dengan pembuat tembikar Bernard Leach. Tahun 1908 dia pindah ke Paris. Ia tinggal kurang dari setahun, namun dampaknya tak terhapuskan. Tidak hanya mempelajari seni pahat Rodin, namun ia juga belajar bahasa Perancis dengan mengingat sejumlah besar puisi terutama Baudelaire dan Verhaeren. Dia menyerap pengaruh yang sama seperti yang dimiliki Kambara Ariake, namun secara langsung, dalam bahasa asli, daripada dalam parafrase Ueda Bin. Puisi miliknya, meskipun ditulis di bawah pengaruh Verhaeren, tidak menunjukkan penyempitan dan usaha Ariake.
Puisi awal Takamura merupakan Jepang klasik, memasukkan pola frase alternatif yang biasa, 5 dan 7 suku kata, namun setelah ia kembali ke Jepang tahun 1909 ia berkenalan dengan karya Kitahara Hakushu dan Miki Rofu, dan memutuskan untuk mengadopsi gaya menulis syair bebas gaya sehari hari mereka. Dia bergabung sebagai bagian dari pemujaan Pan, sebagai cara untuk bereaksi terhadap pembatasan hidup yang dipaksakan sang ayah kepadanya, dan selama beberapa waktu berperilaku dengan keji sebagai anggota masyarakat. Pada april 1910 ketika Subaru terbit ia mempublikasikan 4 puisi dibawah judul yang jenaka Les impressions des ouonnas (a ma Bien- Aimee au Caouatchi- Leau). Ouonnas merupakan caranya menulis bentuk jamak dari onna (wanita) dan Caouatchi-Leau merupakan Kawachi-ro, nama rumah bordil Yoshiwara yang sering ia kunjungi. Ia memberikan nama panggilan Mona Lisa atau La Joconde pada wanita tuna susila favoritnya karena adanya kemiripan pada senyum mereka. Puisi pertamanya tentang keistimewaan “Ushinawarete Mona Lisa” (Mona Lisa yang hilang), diterbitkan pada Januari 1911 dalam Subaru, menggambarkan rasa sepinya setelah wanita tuna susila cantik tersebut menghilang. Puisi tersebut memasukkan baris dibawah ini:

Mona Lisa tak meneteskan air mata
Dia hanya tersenyum, menunjukkan gigi hijau pucatnya
Dengan kegelapan mutiara timur
Terpisah dari bingkai gambar dirinya
Mona Lisa berjalan pergi

Petikan ini bernada santai yang khas dari keseluruhan puisi, meskipun Takamura di sini dan disana memberikan petunjuk intensitas kesenangan fisik yang dia ambil dari wanita ini yang “mengancam jiwa dan menuang minyak ke dalam api hidupku.” Puisi lainnya, juga diterbitkan oleh Subaru, mengungkapkan sisi lain dari hidup Takamura, kali ini: “Netsuke no Kuni” (Negara Netsuke) hampir merupakan karikatur Jepang yang keji, seperti melihat ke dalam puisi setelah mereka 3 tahun di luar negeri. Puisinya, ditulis dengan gaya sehari-hari terdiri dari seri frase adjectiva yang dibangun hingga ke kata final yang mereka modifikasi, Nipponjin (orang Jepang).

Tulang pipi menonjol, bibir tebal, mata berbentuk segitiga
Wajah seperti netsuke yang diukir oleh Master Sangoro
Ekspresi kosong, seperti jiwanya telah dikeluarkan
Mengabaikan dirinya, gelisah
Hidup yang memalukan,
Pamer,
Berpikiran sempit, puas diri
Seperti monyet, seperti rubah, seperti tupai, seperti penipu, seperti ikan kecil,
seperti pecahan tembikar, orang Jepang berwajah gargoyle    

Kebencian Takamura, meskipun gambaran tersebut, mungkin kurang diarahkan pada penampilan fisik orang Jepang dibandingkan cara hidup orang Jepang. Dia menyatakan bahwa di Paris dia merasa sepenuhnya di rumah, tidak sadar (seperti berada di New York atau London) menjadi orang asing;  shock atas kembalinya pada cara kuno Jepang jauh lebih hebat dibandingkan jika ia merasa seperti mengasingkan diri di luar negeri, dan dia larut dalam kehidupan sebagai pelarian.
Puisi Takamura, khususnya bekerja seperti “Netsuke no Kuni” kebingungan masa kini para pembaca, yang tak menemukan apapun yang puitis terhadap topik maupun arahnya. Entah dari jenis yang tradisional atau puisi modern Kyukin dan Ariake. Kebanyakan dari puisinya pada waktu tidak teratur bentuknya dan subjek “ketakpuitisan” yang mencolok. Terkadang sindirannya bersifat pribadi dan menghindari penafsiran, namun bahasa hampir selalu tidak terpengaruh dan dengan bahasa sehari-hari, seperti dalam “Fuyu ga Kuru”, yang dimulai dengan:

Musim dingin datang,
Dingin, tajam, kuat, musim dingin yang transparan tiba

Bahasanya tidak bisa lebih mudah atau lebih langsung. Memiliki efek puitis yang melandasi kejantannya yang sesekali diselingi oleh dorongan bahasa yang mengungkapkan kerumitan pikiran penyair. Terkadang, teknik Takamura menjadi surealistik/nyata, seperti dalam “Kyosha no Shi” (puisi orang gila):

Berhembus, ayo, berhembus,
Angin dingin turun dari Chichibu,
Berhembus, menuruni gunung!
Dunia berada pada celah terakhirnya, ayo, berhembus!
Meniup punggungku!
Seekor kucing mengeong dalam kepalaku
Di suatu tempat seseorang melayani Rodin sebagai umpan
Coca-Cola TERIMA KASIH BANYAK
Ginza bangsal kedua, bangsal ketiga, dan jalan Owari,
Mobil listrik, lampu listrik, kabel listrik, kekuatan listrik

Puisi ini, seolah merupakan ocehan orang gila, fakta bahwa ekspresi Takamura yang merasa muak pada hutan belantara modern yaitu Tokyo. Dia memangil angin musim dingin (dibandingkan dengan angin lembut musim semi) merupakan ciri puisinya; baginya musim dingin merupakan waktu pemurnian, tekanan spiritual dan aktivitas fisik. Takamura menulis:

Sema semak dan pohon yang tinggi telah kehilangan daunnya, semak belukar dan buahnya layu. Apa yang semestinya jatuh telah jatuh, apa yang harus disiapkan telah siap; kecantikan yang bersih diungkapkan dengan jelas melalui mata seseorang, di atas kebingungan, pastinya keindahan dalam keindahan, mereka tak memiliki minyak wangi; mereka tak berkedip. Mereka pikir ini adalah hal yang alami untuk menunjukkan batas minimum untuk memperhatikan penampilan. Saya selalu merasakan dalam hati pencapaian tertinggi dari seni yang paling maju dapat ditemukan dalam keindahan musim dingin.

Puisi terkenal, “Fuyu ga kita” (musim dingin telah datang), berisikan baris:

Musim dingin!
Datanglah padaku, datanglah padaku!
Aku adalah kekuatan musim dingin; musim dingin adalah nutrisiku

Puisi di atas termasuk dalam koleksi pertama Takamura, Dotei (Perjalanan, 1914). Judul puisi tersebut memberikan bekas tidak hanya pada buku ini tapi juga citra Takamura yang disajikan kepada masyarakat Jepang selama 40 tahun ke depan:

Di depanku tidak ada jalan;
Di belakangku jalan telah dibuat.
Ah, alam!
Ayah!
Ayah yang telah menyiapkanku dengan kedua kakiku!
Melindungiku, dan tak pernah melepaskan pandangan dariku!
Memenuhiku dengan semangat keayahanmu!
Untuk jalan panjang yang terbentang,
Untuk jalan panjang yang terbentang.

Ekspresi dari ketetapan hati untuk menempa jalannya sendiri memberikan kekuatan khas dengan menyikapi alam sebagai ayah yang keras, daripada ibu yang ramah dan dermawan.
Tahun 1911 Takamura, seperti biasa terpikat pada musim dingin dan udara dingin, pindah ke Hokkaido, namun hal berjalan buruk dan ia kembali ke Tokyo. Segera setelahnya ia bertemu dengan Naganuma Chieko, yang kemudian dnikahinya pada tahun 1914, tahun ketika ia menerbitkan (dengan biaya sendiri) koleksinya Dotei (Perjalanan).  Rasa cintanya pada Chieko memberikan topik untuk puisi Chieko-sho (Langit Chieko, 1941) buku puisi keduanya. Chieko-sho (Langit Chieko) sangat unik dalam sejarah puisi Jepang modern mencatat cinta seorang pria untuk istrinya sejak pertemuan pertama mereka, melalui kehidupan mereka bersama dengan aspek fisik yang kuat sebagai tanda pertama (1931) dari kehancuran yang akhirnya menghancurkan pikiran Chieko, dan akhirnya kematiannya pada 1938. Keterusterangan dan kekuatan dari puisi ini mengingatkan pada Manyoushu, meskipun bahasanya sepenuhnya modern. Panjang barisnya tak beraturan dan tidak mengamati peraturan persajakan konvensional. Jika mereka kurang dalam nada dan impor simbolik (dalam gaya Jepang yang lebih tradisional), mereka banyak sukses dengan gaya puisi Eropa, menyampaikan dengan kuat perasaan terdalam penyair dalam bahasa yang sama sekali tak seperti simbolis. “Bokura” (Kita berdua, 1913) dimulai dengan:

Tiap kali memikirkan dirimu
Aku merasa keabadian paling dekat;
Aku ada dan kau ada-
Itu adalah semua yang perlu dikatakan tentang diriku.
Hidupku dan hidupmu
Terjalin, kusut, meleleh,
Kembali ke awal jaman purba mereka.
Semua diskriminasi kehilangan nilainya di antara kita;
Bagi kita segalanya adalah mutlak.
Perang antar gender yang dibicarakan orang tidak ada bagi kita;
 Kita punya kepercayaan, rasa hormat, cinta dan kebebasan
Dan kekuatan hebat juga kekuasaan...

Kau adalah api
Semakin lama aku mengenalmusemakin aku merasakan kesegaranmu
Kau adalah harta yang tak ada habisnya, selalu baru
Kau adalah inti realita, cabang yang tercabut dan daun
Ciumanmu melembabkanku
Pelukanmu memberikan nutrisi ekstrim untukku
Tanan dan kakimu yang dingin
Tubuh bulatmu yang berat
Kulitmu yang berpendar
Kekuatan mahkluk hidup berlari melalui tungkaimu
Ini adalah peliharaan terbaik dalam hidupku

Puisi takamura mencapai puncak kekuatannya setelah Chieko menjadi gila. “Kaze ni noru Chieko” (Chieko menunggangi angin, 1935) menggambarkan pengembaraannya di pantai, memberikan isyarat pada burung, namun tidak menyikapi sepatah katapun untuk suaminya. “Aigataki Chieko” (chieko yang tak terkira) memberitahu kita:

Chieko melihat yang tak terlihat
Dia mendengar yang tak terdengar
Chieko pergi ke tempat dimana tak seorangpun dapat pergi
Dia melakukan yang tak mungkin
Chieko tidak melihat diriku yang sebenarnya
Dia merindukanku melebihi diriku sendiri
Saat ini Chieko membuang lukanya yang berat
Mengembara ke tempat yang luas, tanpa batas, membayangkan keindahan
Lagi dan lagi ku dengar suaranya memanggilku
Namun Chieko tak lagi menggenggam tiket menuju dunia laki-laki

Puisi Yoshimoto Takaaki ditunjukkan dalam karangan yang brilian maksud tersembunyi di balik puisi ini: pertama, cinta antara Takamura dan Chieko di gambarkan secara keseluruhan dari sudut pandangnya, membuat pembaca bertanya tanya bagaimana Chieko akan menanggapi kekaguman yang kuat tersebut. Yoshimoto menduga, selain itu, meskipun ketulusan (bahkan tidak alamiah) dari puisi tentang Chieko tersebut, Takamura kurang terinspirasi pengalaman pribadi langsung dibandingkan dengan Les heures claires (1896) milik Emile Verhaeren, rangkaian puisi yang menggambarkan rasa cinta sang penyair kepada istrinya. Teori Yoshimoto dibuktikan dengan kata-kata dimana Takamura menggambarkan kepedihan/penderitaannya mengawasi ocehan Chieko, yang kegilaannya jauh berlanjut hingga pintu dan jendela rumah tempatnya tinggal harus ditutupi paku, jangan sampai dia mengembara ke luar dan menimbulkan masalah; surat ini tidak bermaksud menghubungkan nada puisi yang menggambarkan Chieko yang mengejar cerek di pantai, bebas dari ikatan dunia manusia. Mungkin Takamura, sebagai dirinya sendiri menyarankan setahun setelah kematiannya, menemukan kekekalan Chieko setelah Chieko menghilang; mungkin juga Chieko-sho (Langit Chieko) berusaha hingga putus asa untuk menemukan hubungan yang tidak pernah ada. Apapun faktanya, puisinya sangat meyakinkan dan biografi Chieko yang dilampirkan Takamura dalam koleksinya, memberikan kesaksian untuk kekasihnya.
Ada sisi lain dari kehidupan emosional Takamura: dia meningkatkan kesadaran dirinya sebagai orang Jepang terungkap dalam tulisannya yang sejajar dengan gambarannya tentang cintanya untuk Chieko. Puisi ini mengingatkan kembali, setahun sebelumnya, keterasingan yang ia rasakan selama di luar negeri. Meskipun pernyataannya dimana ia merasa seperti di rumah ketika di Paris, bukan di tempat lain di barat, kelihatannya Takamura sadar secara akut perbedaan ras yang memisahkan dirinya dengan orang Perancis yang ia kenal- bahkan pelacur Perancis yang ia kunjungi secara teratur selama ia tinggal di Paris. Renungannya tentang pengalaman diskriminasi ras di luar negeri sekarang mengakibatkan beberapa puisi getir/ pahit seperti “Shirokuma” (Beruang Putih/ Beruang Kutub, 1925), dimana dia teringat akan kunjungannya ke kebun binatang Bronx 18 tahun yang lalu. Setelah membayar sewa, tak banyak yang tersisa selain 7 dolar seminggu yang ia terima dari Gutzon Borglum sebagai asistennya, dan dia akan menghabiskan hari minggunya dengan murah, di kebun binatang. Puisinya menyimpulkan:

Beruang kutub tidak seharusnya dikekang
Sendirian ia menghembuskan udara kutub di luar New York
Keji, pendidikan keramah-tamahan menyelimuti sekelilingnya
Materialisme orang kristen yang hebat yang membuatnya tercekik
Berupaya untuk membunuh orang Jepang pemimpi
Beruang kutub menatap diam dari waktu ke waktu kepada pria itu
Untuk pertama kalinya minggu ini pria itu tidak mendengar suara jalanan
Membasuh dalam keheningan, dia berdiri tak bergerak di hadapan beruang kutub yang hebat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar