Sulit
untuk menentukan dimana garis batas antara puisi jaman Taisho dan puisi awal
Showa. Koleksi puisi jaman Taisho terkadang memasukkan Miyazawa kenji, namum
terkadang meninggalkannya untuk jilid Showa dari seri yang sama. Nyatanya,
tidak ada aturan yang tegas, khususnya ketika seorang penyair yang aktif
berkarya pada periode Showa dan Taisho. Saya memilih untuk membuat keputusan
yang agak sewenang wenang, dengan memasukkan penyair jaman Showa yang berkarir
ketika perang Pasifik, yang merupakan pengalaman paling traumatik bagi Jepang
pada abad ke 20.
Banyak
dari penyair ini, termasuk Takamura Kotaro, mulai menerbitkan karyanya selama
jaman Taisho, namun karya mereka yang paling penting disusun pada tahun 1930an.
Puisi ini sering secara tidak langsung mengungkapkan latar belakang politik
pada jaman tersebut. Ini adalah hal yang normal, sebagai contoh, orang Jepang
yang berkunjung ke Korea, kemudian bagian dari kekaisaran Jepang, dan akhir
1930an mengunjungi Peking, kebangkitan penduduk tentara Jepang, juga menjadi
umum/biasa. Penyair, lebih dari penyair prosa, menjabat selama masa perang
sebagai penulis sejarah terhadap prestasi militer, menyanyi senjata, dan
seorang dengan cara penyair dari zaman dahulu. Tidak semua penyair bergabung
dalam meluaskan/melebarkan kegiatan berpuisi selama masa perang, namun ada
sedikit hambatan. Sedikit dari puisi perang tersebut yang bernilai abadi, dan
mereka telah didiskusikan tidak dalam jangka waktu kerja dari penyair individu
namun sebagai bagian dari survei umum sastra Jepang selama perang.
Kekalahan
menyebabkan beberapa penyair mengekspresikan rasa malu mereka di muka umum
terhadap puisi yang telah mereka tulis, namun yang lainnya memilih untuk tidak
menyinggung pujian mereka untuk saat ini. Masa awal setelah perang masih
didominasi oleh penyair penyair 1930an ini, namun generasi baru dengan
kemampuan yang tak biasa muncul kemudian.
TAKAMURA KOTARO
(1883-1956)
Takamura
selalu lebih suka memikirkan dirinya sebagai pemahat patung daripada seorang
penyair, ia bahkan menolak jabatan dari akademi Jepang karena undangan
yang ditujukan kepadanya sebagai seorang
penyair. Dia menganggap puisinya tidak lebih dari jalan keluar bagi pikirannya
yang tidak diikutsertakan dalam pahatannya. Namun, Takamura di atas semuanya
adalah seorang penyair; pahatannya (baik dalam cara Rodin, yang dia pelajari
dari seorang ahli di Paris, atau lebih ke cara tradisional Jepang dalam mengukir
serangga, burung dan buah) relatif sedikit dan tidak terlalu mengesankan.
Puisinya –khususnya yang mendeskripsikan rasa cintanya untuk sang istri- sangat
populer, karena emosi mereka yang mengalir dan karena (tidak seperti pekerjaan
tak jelas dari simbolis) ekspresinya kuat dan jelas.
Takamura
lahir di Tokyo, putra dari pemahat tradisional terkenal. Pada usia 14 (1897)
dia masuk sekolah seni Tokyo, kemudian lulus pada tahun 1902. Sementara itu,
dia mulai menerbitkan tanka dan haiku dengan nama pena yang beragam.
Ketertarikannya pada Rodin timbul pada 1904 oleh fotografer Le Penseur, dan tahun berikutnya dia
membaca biografi Rodin yang sangat membuatnya terkesan, kemudian dia kembali ke
sekolah seni Tokyo untuk mempelajari seni barat. Pada tahun 1906 ia mengadakan
perjalanan ke New York, dan tinggal selama setahun, belajar seni pahat pada
Gutzon Borglum. Selama di New York dia menulis puisi modern pertamanya dan
menerbitkannya di Myojo. Dia
meninggalkan New York tahun 1907 untuk pergi ke London, dimana ia melanjutkan
pelajaran seninya dan berteman dengan pembuat tembikar Bernard Leach. Tahun
1908 dia pindah ke Paris. Ia tinggal kurang dari setahun, namun dampaknya tak
terhapuskan. Tidak hanya mempelajari seni pahat Rodin, namun ia juga belajar
bahasa Perancis dengan mengingat sejumlah besar puisi terutama Baudelaire dan
Verhaeren. Dia menyerap pengaruh yang sama seperti yang dimiliki Kambara
Ariake, namun secara langsung, dalam bahasa asli, daripada dalam parafrase Ueda
Bin. Puisi miliknya, meskipun ditulis di bawah pengaruh Verhaeren, tidak
menunjukkan penyempitan dan usaha Ariake.
Puisi
awal Takamura merupakan Jepang klasik, memasukkan pola frase alternatif yang
biasa, 5 dan 7 suku kata, namun setelah ia kembali ke Jepang tahun 1909 ia
berkenalan dengan karya Kitahara Hakushu dan Miki Rofu, dan memutuskan untuk
mengadopsi gaya menulis syair bebas gaya sehari hari mereka. Dia bergabung sebagai
bagian dari pemujaan Pan, sebagai cara untuk bereaksi terhadap pembatasan hidup
yang dipaksakan sang ayah kepadanya, dan selama beberapa waktu berperilaku
dengan keji sebagai anggota masyarakat. Pada april 1910 ketika Subaru terbit ia mempublikasikan 4 puisi
dibawah judul yang jenaka Les impressions
des ouonnas (a ma Bien- Aimee au
Caouatchi- Leau). Ouonnas merupakan
caranya menulis bentuk jamak dari onna
(wanita) dan Caouatchi-Leau merupakan
Kawachi-ro, nama rumah bordil
Yoshiwara yang sering ia kunjungi. Ia memberikan nama panggilan Mona Lisa atau La Joconde pada wanita tuna susila favoritnya karena adanya
kemiripan pada senyum mereka. Puisi pertamanya tentang keistimewaan “Ushinawarete Mona Lisa” (Mona Lisa yang
hilang), diterbitkan pada Januari 1911 dalam Subaru, menggambarkan rasa sepinya setelah wanita tuna susila
cantik tersebut menghilang. Puisi tersebut memasukkan baris dibawah ini:
Mona
Lisa tak meneteskan air mata
Dia
hanya tersenyum, menunjukkan gigi hijau pucatnya
Dengan
kegelapan mutiara timur
Terpisah
dari bingkai gambar dirinya
Mona
Lisa berjalan pergi
Petikan
ini bernada santai yang khas dari keseluruhan puisi, meskipun Takamura di sini
dan disana memberikan petunjuk intensitas kesenangan fisik yang dia ambil dari
wanita ini yang “mengancam jiwa dan menuang minyak ke dalam api hidupku.” Puisi
lainnya, juga diterbitkan oleh Subaru,
mengungkapkan sisi lain dari hidup Takamura, kali ini: “Netsuke no Kuni” (Negara Netsuke) hampir merupakan karikatur Jepang
yang keji, seperti melihat ke dalam puisi setelah mereka 3 tahun di luar
negeri. Puisinya, ditulis dengan gaya sehari-hari terdiri dari seri frase
adjectiva yang dibangun hingga ke kata final yang mereka modifikasi, Nipponjin (orang Jepang).
Tulang
pipi menonjol, bibir tebal, mata berbentuk segitiga
Wajah
seperti netsuke yang diukir oleh Master Sangoro
Ekspresi
kosong, seperti jiwanya telah dikeluarkan
Mengabaikan
dirinya, gelisah
Hidup
yang memalukan,
Pamer,
Berpikiran
sempit, puas diri
Seperti
monyet, seperti rubah, seperti tupai, seperti penipu, seperti ikan kecil,
seperti
pecahan tembikar, orang Jepang berwajah gargoyle
Kebencian
Takamura, meskipun gambaran tersebut, mungkin kurang diarahkan pada penampilan
fisik orang Jepang dibandingkan cara hidup orang Jepang. Dia menyatakan bahwa
di Paris dia merasa sepenuhnya di rumah, tidak sadar (seperti berada di New
York atau London) menjadi orang asing; shock
atas kembalinya pada cara kuno Jepang jauh lebih hebat dibandingkan jika ia
merasa seperti mengasingkan diri di luar negeri, dan dia larut dalam kehidupan
sebagai pelarian.
Puisi
Takamura, khususnya bekerja seperti “Netsuke
no Kuni” kebingungan masa kini para pembaca, yang tak menemukan apapun yang
puitis terhadap topik maupun arahnya. Entah dari jenis yang tradisional atau
puisi modern Kyukin dan Ariake. Kebanyakan dari puisinya pada waktu tidak
teratur bentuknya dan subjek “ketakpuitisan” yang mencolok. Terkadang
sindirannya bersifat pribadi dan menghindari penafsiran, namun bahasa hampir
selalu tidak terpengaruh dan dengan bahasa sehari-hari, seperti dalam “Fuyu ga Kuru”, yang dimulai dengan:
Musim
dingin datang,
Dingin,
tajam, kuat, musim dingin yang transparan tiba
Bahasanya
tidak bisa lebih mudah atau lebih langsung. Memiliki efek puitis yang melandasi
kejantannya yang sesekali diselingi oleh dorongan bahasa yang mengungkapkan
kerumitan pikiran penyair. Terkadang, teknik Takamura menjadi
surealistik/nyata, seperti dalam “Kyosha
no Shi” (puisi orang gila):
Berhembus,
ayo, berhembus,
Angin
dingin turun dari Chichibu,
Berhembus,
menuruni gunung!
Dunia
berada pada celah terakhirnya, ayo, berhembus!
Meniup
punggungku!
Seekor
kucing mengeong dalam kepalaku
Di
suatu tempat seseorang melayani Rodin sebagai umpan
Coca-Cola
TERIMA KASIH BANYAK
Ginza
bangsal kedua, bangsal ketiga, dan jalan Owari,
Mobil
listrik, lampu listrik, kabel listrik, kekuatan listrik
Puisi
ini, seolah merupakan ocehan orang gila, fakta bahwa ekspresi Takamura yang
merasa muak pada hutan belantara modern yaitu Tokyo. Dia memangil angin musim
dingin (dibandingkan dengan angin lembut musim semi) merupakan ciri puisinya;
baginya musim dingin merupakan waktu pemurnian, tekanan spiritual dan aktivitas
fisik. Takamura menulis:
Sema
semak dan pohon yang tinggi telah kehilangan daunnya, semak belukar dan buahnya
layu. Apa yang semestinya jatuh telah jatuh, apa yang harus disiapkan telah
siap; kecantikan yang bersih diungkapkan dengan jelas melalui mata seseorang,
di atas kebingungan, pastinya keindahan dalam keindahan, mereka tak memiliki
minyak wangi; mereka tak berkedip. Mereka pikir ini adalah hal yang alami untuk
menunjukkan batas minimum untuk memperhatikan penampilan. Saya selalu merasakan
dalam hati pencapaian tertinggi dari seni yang paling maju dapat ditemukan
dalam keindahan musim dingin.
Puisi
terkenal, “Fuyu ga kita” (musim
dingin telah datang), berisikan baris:
Musim
dingin!
Datanglah
padaku, datanglah padaku!
Aku
adalah kekuatan musim dingin; musim dingin adalah nutrisiku
Puisi di atas termasuk dalam koleksi pertama Takamura, Dotei (Perjalanan, 1914). Judul puisi tersebut memberikan bekas tidak hanya pada buku ini tapi juga citra Takamura yang disajikan kepada masyarakat Jepang selama 40 tahun ke depan:
Di
depanku tidak ada jalan;
Di
belakangku jalan telah dibuat.
Ah,
alam!
Ayah!
Ayah
yang telah menyiapkanku dengan kedua kakiku!
Melindungiku,
dan tak pernah melepaskan pandangan dariku!
Memenuhiku
dengan semangat keayahanmu!
Untuk
jalan panjang yang terbentang,
Untuk
jalan panjang yang terbentang.
Ekspresi
dari ketetapan hati untuk menempa jalannya sendiri memberikan kekuatan khas
dengan menyikapi alam sebagai ayah yang keras, daripada ibu yang ramah dan
dermawan.
Tahun
1911 Takamura, seperti biasa terpikat pada musim dingin dan udara dingin,
pindah ke Hokkaido, namun hal berjalan buruk dan ia kembali ke Tokyo. Segera
setelahnya ia bertemu dengan Naganuma Chieko, yang kemudian dnikahinya pada
tahun 1914, tahun ketika ia menerbitkan (dengan biaya sendiri) koleksinya Dotei (Perjalanan). Rasa cintanya pada Chieko
memberikan topik untuk puisi Chieko-sho
(Langit Chieko, 1941) buku puisi keduanya. Chieko-sho
(Langit Chieko) sangat unik dalam sejarah puisi Jepang modern mencatat cinta
seorang pria untuk istrinya sejak pertemuan pertama mereka, melalui kehidupan
mereka bersama dengan aspek fisik yang kuat sebagai tanda pertama (1931) dari
kehancuran yang akhirnya menghancurkan pikiran Chieko, dan akhirnya kematiannya
pada 1938. Keterusterangan dan kekuatan dari puisi ini mengingatkan pada
Manyoushu, meskipun bahasanya sepenuhnya modern. Panjang barisnya tak beraturan
dan tidak mengamati peraturan persajakan konvensional. Jika mereka kurang dalam
nada dan impor simbolik (dalam gaya Jepang yang lebih tradisional), mereka
banyak sukses dengan gaya puisi Eropa, menyampaikan dengan kuat perasaan
terdalam penyair dalam bahasa yang sama sekali tak seperti simbolis. “Bokura” (Kita berdua, 1913) dimulai
dengan:
Tiap
kali memikirkan dirimu
Aku
merasa keabadian paling dekat;
Aku
ada dan kau ada-
Itu
adalah semua yang perlu dikatakan tentang diriku.
Hidupku
dan hidupmu
Terjalin,
kusut, meleleh,
Kembali
ke awal jaman purba mereka.
Semua
diskriminasi kehilangan nilainya di antara kita;
Bagi
kita segalanya adalah mutlak.
Perang
antar gender yang dibicarakan orang tidak ada bagi kita;
Kita punya kepercayaan, rasa hormat, cinta dan
kebebasan
Dan
kekuatan hebat juga kekuasaan...
Kau
adalah api
Semakin
lama aku mengenalmusemakin aku merasakan kesegaranmu
Kau
adalah harta yang tak ada habisnya, selalu baru
Kau
adalah inti realita, cabang yang tercabut dan daun
Ciumanmu
melembabkanku
Pelukanmu
memberikan nutrisi ekstrim untukku
Tanan
dan kakimu yang dingin
Tubuh
bulatmu yang berat
Kulitmu
yang berpendar
Kekuatan
mahkluk hidup berlari melalui tungkaimu
Ini
adalah peliharaan terbaik dalam hidupku
Puisi
takamura mencapai puncak kekuatannya setelah Chieko menjadi gila. “Kaze ni noru Chieko” (Chieko menunggangi
angin, 1935) menggambarkan pengembaraannya di pantai, memberikan isyarat pada
burung, namun tidak menyikapi sepatah katapun untuk suaminya. “Aigataki Chieko” (chieko yang tak
terkira) memberitahu kita:
Chieko
melihat yang tak terlihat
Dia
mendengar yang tak terdengar
Chieko
pergi ke tempat dimana tak seorangpun dapat pergi
Dia
melakukan yang tak mungkin
Chieko
tidak melihat diriku yang sebenarnya
Dia
merindukanku melebihi diriku sendiri
Saat
ini Chieko membuang lukanya yang berat
Mengembara
ke tempat yang luas, tanpa batas, membayangkan keindahan
Lagi
dan lagi ku dengar suaranya memanggilku
Namun
Chieko tak lagi menggenggam tiket menuju dunia laki-laki
Puisi
Yoshimoto Takaaki ditunjukkan dalam karangan yang brilian maksud tersembunyi di
balik puisi ini: pertama, cinta antara Takamura dan Chieko di gambarkan secara
keseluruhan dari sudut pandangnya, membuat pembaca bertanya tanya bagaimana
Chieko akan menanggapi kekaguman yang kuat tersebut. Yoshimoto menduga, selain
itu, meskipun ketulusan (bahkan tidak alamiah) dari puisi tentang Chieko
tersebut, Takamura kurang terinspirasi pengalaman pribadi langsung dibandingkan
dengan Les heures claires (1896)
milik Emile Verhaeren, rangkaian puisi yang menggambarkan rasa cinta sang
penyair kepada istrinya. Teori Yoshimoto dibuktikan dengan kata-kata dimana
Takamura menggambarkan kepedihan/penderitaannya mengawasi ocehan Chieko, yang
kegilaannya jauh berlanjut hingga pintu dan jendela rumah tempatnya tinggal
harus ditutupi paku, jangan sampai dia mengembara ke luar dan menimbulkan
masalah; surat ini tidak bermaksud menghubungkan nada puisi yang menggambarkan
Chieko yang mengejar cerek di pantai, bebas dari ikatan dunia manusia. Mungkin Takamura,
sebagai dirinya sendiri menyarankan setahun setelah kematiannya, menemukan
kekekalan Chieko setelah Chieko menghilang; mungkin juga Chieko-sho (Langit Chieko) berusaha hingga putus asa untuk
menemukan hubungan yang tidak pernah ada. Apapun faktanya, puisinya sangat
meyakinkan dan biografi Chieko yang dilampirkan Takamura dalam koleksinya,
memberikan kesaksian untuk kekasihnya.
Ada
sisi lain dari kehidupan emosional Takamura: dia meningkatkan kesadaran dirinya
sebagai orang Jepang terungkap dalam tulisannya yang sejajar dengan gambarannya
tentang cintanya untuk Chieko. Puisi ini mengingatkan kembali, setahun
sebelumnya, keterasingan yang ia rasakan selama di luar negeri. Meskipun
pernyataannya dimana ia merasa seperti di rumah ketika di Paris, bukan di
tempat lain di barat, kelihatannya Takamura sadar secara akut perbedaan ras
yang memisahkan dirinya dengan orang Perancis yang ia kenal- bahkan pelacur Perancis
yang ia kunjungi secara teratur selama ia tinggal di Paris. Renungannya tentang
pengalaman diskriminasi ras di luar negeri sekarang mengakibatkan beberapa
puisi getir/ pahit seperti “Shirokuma”
(Beruang Putih/ Beruang Kutub, 1925), dimana dia teringat akan kunjungannya ke
kebun binatang Bronx 18 tahun yang lalu. Setelah membayar sewa, tak banyak yang
tersisa selain 7 dolar seminggu yang ia terima dari Gutzon Borglum sebagai
asistennya, dan dia akan menghabiskan hari minggunya dengan murah, di kebun
binatang. Puisinya menyimpulkan:
Beruang
kutub tidak seharusnya dikekang
Sendirian
ia menghembuskan udara kutub di luar New York
Keji,
pendidikan keramah-tamahan menyelimuti sekelilingnya
Materialisme
orang kristen yang hebat yang membuatnya tercekik
Berupaya
untuk membunuh orang Jepang pemimpi
Beruang
kutub menatap diam dari waktu ke waktu kepada pria itu
Untuk
pertama kalinya minggu ini pria itu tidak mendengar suara jalanan
Membasuh
dalam keheningan, dia berdiri tak bergerak di hadapan beruang kutub yang hebat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar