Semiotika adalah
ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah
perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda-tanda terletak
dimana-mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas,
bendera dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukanlah hanya sekedar
harfiah melainkan lebih luas misalnya struktur karya sastra, struktur film,
bangunan, nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap tanda dalam
kehidupan manusia (Zoest, 1992 dalam Kaelan, 2009:162).
Riffaterre dalam bukunya semiotics of poetry (1987) mengemukakan
empat hal pokok untuk memproduksi makna puisi, yaitu: (1) ketidaklangsungan
ekspresi, (2) pembacaan heuristik, dan retroaktif atau hermeneutik, (3) matrix atau kata kunci (keyword), dan (4) hypogram (hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstual). Riffaterre mengemukakan bahwa puisi merupakan
ekspresi tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga
hal: (1) penggantian arti (displacing of
meaning), (2) penyimpangan arti (distorting
of meaning) dan (3) penciptaan arti (creating
of meaning). Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing pembagian di
atas:
1. Penggantian
arti
Penggantian arti disebabkan oleh
penggunaan metafora dan metonimi. Yang dimaksudkan metafora dan metonimi itu
secara umum adalah bahasa kiasan (figurative
language), yang meliputi juga simile, personifikasi, dan sinekdoki.
2. Penyimpangan
arti
Arti atau makna bahasa puisi itu
menyimpang atau memencong (to distort)
dari arti bahasa yang tertulis (bahasa dalam teks). Menurut Riffaterre
penyimpangan tersebut diakibatkan oleh tiga hal, yaitu: (1) ambiguitas
(ketaksaan), (2) kontradiksi, (3) nonsense.
a. Ambiguitas
Bahasa puisi itu bersifat banyak
tafsir (polyinterpretable). Sifat
banyak tafsir ini disebabkan oleh penggunaan metafora dan ambiguitas.
Ambiguitas dapat berupa kata, frase, klausa atau kalimat yang taksa atau mempunyai
makna lebih dari satu. Untuk menciptakan misteri dalam sajak, untuk menarik
perhatian dan selalu menimbulkan keingintahuan, ketaksaan itu membuatnya dapat
ditafsirkan dengan bermacam-macam arti atau makna, sifatnya menjadi
“remang-remang” atau “kabur”, itulah arti taksa.
b. Kontradiksi
Seringkali puisi menyatakan sesuatu
secara kebalikannya. Untuk menyatakan arti (makna) secara kebalikan itu
dipergunakan gaya ucap paradoks dan ironi. Paradoks merupakan gaya bahasa yang
menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud
bentuknya.
c. Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang
secara linguistik tidak mempunyai arti. Kata-kata tersebut merupakan ciptaan
penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti secara
linguistik, tetapi mempunyai makna (significance) dalam puisi karena konvensi
puisi.
3. Penciptaan
arti
Saat ini puisi ditulis dalam sebuah
ruang teks, bukan puisi lisan. Oleh karena itu, ruang teks itu diorganisasikan
untuk menciptakan arti baru yang secara linguistik tidak ada artinya. Akan
tetapi, pengorganisasian ruang teks itu menimbulkan makna. Di antara
sarana-sarana penciptaan arti atau makna itu adalah sajak (rima), enjamberment, homologue, dan tipografi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar