Kamis, 26 Desember 2013

TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE



Semiotika adalah ilmu tanda yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda-tanda terletak dimana-mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukanlah hanya sekedar harfiah melainkan lebih luas misalnya struktur karya sastra, struktur film, bangunan, nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap tanda dalam kehidupan manusia (Zoest, 1992 dalam Kaelan, 2009:162).
            Riffaterre dalam bukunya semiotics of poetry (1987) mengemukakan empat hal pokok untuk memproduksi makna puisi, yaitu: (1) ketidaklangsungan ekspresi, (2) pembacaan heuristik, dan retroaktif atau hermeneutik, (3) matrix atau kata kunci (keyword), dan (4) hypogram (hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstual).  Riffaterre mengemukakan bahwa puisi merupakan ekspresi tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal: (1) penggantian arti (displacing of meaning), (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) dan (3) penciptaan arti (creating of meaning). Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing pembagian di atas:
1.      Penggantian arti
Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi. Yang dimaksudkan metafora dan metonimi itu secara umum adalah bahasa kiasan (figurative language), yang meliputi juga simile, personifikasi, dan sinekdoki.

2.      Penyimpangan arti
Arti atau makna bahasa puisi itu menyimpang atau memencong (to distort) dari arti bahasa yang tertulis (bahasa dalam teks). Menurut Riffaterre penyimpangan tersebut diakibatkan oleh tiga hal, yaitu: (1) ambiguitas (ketaksaan), (2) kontradiksi, (3) nonsense. 
a.       Ambiguitas
Bahasa puisi itu bersifat banyak tafsir (polyinterpretable). Sifat banyak tafsir ini disebabkan oleh penggunaan metafora dan ambiguitas. Ambiguitas dapat berupa kata, frase, klausa atau kalimat yang taksa atau mempunyai makna lebih dari satu. Untuk menciptakan misteri dalam sajak, untuk menarik perhatian dan selalu menimbulkan keingintahuan, ketaksaan itu membuatnya dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam arti atau makna, sifatnya menjadi “remang-remang” atau “kabur”, itulah arti taksa. 
b.      Kontradiksi
Seringkali puisi menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Untuk menyatakan arti (makna) secara kebalikan itu dipergunakan gaya ucap paradoks dan ironi. Paradoks merupakan gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan atau bertentangan dalam wujud bentuknya.  
c.       Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti. Kata-kata tersebut merupakan ciptaan penyair, tidak ada dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna (significance) dalam puisi karena konvensi puisi.

3.      Penciptaan arti
Saat ini puisi ditulis dalam sebuah ruang teks, bukan puisi lisan. Oleh karena itu, ruang teks itu diorganisasikan untuk menciptakan arti baru yang secara linguistik tidak ada artinya. Akan tetapi, pengorganisasian ruang teks itu menimbulkan makna. Di antara sarana-sarana penciptaan arti atau makna itu adalah sajak (rima), enjamberment, homologue, dan tipografi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar